Halaman

Senin, Mei 17, 2010

Baduy seperti apaaa ya?

Baduy adalah nama suku di Desa Kanekes, Kelurahan Rangkasbitung, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Dari Tangerang dapat ditempuh dalam waktu 4 jam penuh untuk dapat sampai ke Baduy dengan menggunakan mobil pribadi/sewaan.
Nama Baduy sendiri diambil dari nama sungai dan Gunung Baduy. Jadi kalau dibilang Baduy, itu sebenarnya ditujukan pada sukunya. Baduy sendiri dibagi menjadi 2 kelompok menurut letak, warna baju adat dan keterbukaannya dengan masyarakat luar. Ada Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Baduy Dalam, lebih tertutup dan primitif dengan kebudayaan asalnya seperti upacara-upacara adatnya masih terus dijaga dengan sebegitu rupa sehingga mereka akan lebih mendahulukan persiapan kegiatan adat daripada melakukan hal-hal lainnya. Selain itu, budaya mereka masing tertutup dengan kecanggihan teknologi sehingga belum terdapat jaringan komunikasi. Baju adat Baduy Dalam berwarna putih untuk lebih menunjukkan sikap mereka yang ingin menjaga kebudayaannya dari globalisasi yang terus menerus terjadi.
Baduy Luar, sudah lebih membuka diri pada kemajuan teknologi sehingga pada Baduy Luar sudah terdapat jaringan komunikasi yaitu dari jaringan Indosat. Baduy Luar juga masih menjaga acara adat mereka sehingga walaupun mereka sudah terbuka dengan masyarakat luar, mereka masih belum mengizinkan warga luar untuk mengikuti acara adat mereka. Baju adat Baduy Luar berwarna hitam untuk membedakannya dari warga Baduy Dalam yang berbaju warna putih.
Walaupun Baduy Luar sudah dapat dikatakan lebih modern dari Baduy Dalam, akan tetapi dalam hal pencahayaan buatan bagi masing-masing rumah, mereka masih menggunakan lampu tempel seperti di Baduy Dalam.
Untuk kepercayaan warga Baduy sendiri, baik Dalam maupun Luar, mereka mempunyai kepercayaan turun temurun yang bernama Sunda Wiwitan yang mana kepercayaan ini tidak memiliki kitab suci ataupun tempat ibadah khusus. Namun kepercayaan ini tetap mengaku adanya Tuhan Yang Maha Esa sehingga tidak ada acara sesajen seperti Kepercayaan Animisme-Dinamisme. Dalam beribadah, karena tidak ada tempat ibadah khusus, mereka melakukan ibadah di rumah masing-masing.


Kampung paling luar dari suku Baduy adalah Kampung Kadu Ketug, setelah itu terdapat Kampung Balimbing, Kampung Marengoh dan Kampung Gazeboh. Itu adalah 4 kampung paling luar dari suku Baduy, dapat ditempuh dalam waktu 4 jam pp dari Kampung Kadu Ketug-Kampung Gazeboh-Kampung Kadu Ketug kembali dengan jalan santai.
Jalan-jalan yang terdapat di Baduy berupa tanah yang belum dipaving atau diolah dengan aspal, dkk. Jadi, untuk menghindarkan dari bahaya jatuh tergelincir sewaktu berjalan dari 1 kampung ke kampung yang lain, pada tanah tersebut diberi batu-batu yang cukup besar.
Batas antar kampung di Baduy sendiri tidak terlalu jelas, hanya ada selang jarak yang mana pada jarak tersebut, jalan-jalannya tidak rata, berkontur dan tidak akan terlihat sebuah rumah pun. Ada pula perbatasan yang disertai dengan adanya sungai yang bermuara di Tangerang, seperti perbatasan persis sebelum memasuki Kampung Marengoh.
Di Baduy, masing-masing rumah dtinggali oleh 1 keluarga dan masing-masing rumah mempunyai 1 lumbung yang disebut Leuit oleh warga Baduy. Baik leuit maupun rumah, terbuat dari gabungan bambu kering, kayu dan rumbia (rumbia untuk penutup atap). Dalam pembangunannya, mereka masing menggunakan sistem gotong royong, tidak menggunakan tukang dari warga luar Baduy. Bahan-bahan untuk membangun rumah akan disediakan oleh pemilik rumah.
Untuk kepemilikan rumah, masing-masing rumah sudah mempunyai hak milik sendiri-sendiri lengkap dengan surat-surat rumahnya.
Penggantian bahan-bahan rumah dilakukan secara berkala. Untuk penutup atap, diganti kira-kira setiap 3 tahun atau bila sudah bocor dan untuk dinding, penutup lantai (papan bambu) diganti kira-kira setiap 5-10 tahun atau bila sudah rapuh.
Rumah adat mereka adalah rumah panggung dengan ketinggian kira-kira 60 cm dari permukaan tanah dan semua rumah di Baduy tidak ada fondasi dalam tanah. Mereka hanya meletakkan kolom bambu di atas batu yang cukup besar sedangkan batu tersebut tidak ditanam dalam tanah sehingga dalam langsung dilihat dengan mata tanpa perlu menggali tanah lagi. Rumah adat warga Baduy boleh didokumentasikan.
Untuk rumah tokoh adat, rumahnya juga rumah panggung namun memiliki ketinggian yang berbeda, kira-kira 1 m lebih dari permukaan tanah dan hubungan kayu dan bambu pada struktur bangunannya tidak menggunakan paku tetapi menggunakan ikatan dari tali-tali serabut. Selain itu, di ujung atap terdapat lingkaran. Sayangnya, untuk rumah tokoh adat Baduy ini tidak boleh didokumentasikan.
Antar rumah di Baduy sendiri tidak memiliki ketinggian tanah yang sama karena semua jalan di Baduy tidak rata dan berkontur.
Untuk jumlah pintu pada masing-masing rumah di Baduy Luar ada 3, yaitu pintu depan, pintu belakang dan pintu samping sedangkan pada Baduy Dalam hanya ada 1, yaitu pintu samping saja. Di Baduy, yang termasuk pintu utama justru adalah pintu samping. Pintu depan dan pintu belakang hanya merupakan tambahan saja yang berfungsi sebagai pendukung aktivitas seperti untuk pintu dapur atau untuk pintu ke tempat menjemur pakaian atau menjemur hasil ladang seperti coklat atau kopi.
Keunikan lainnya adalah perlakuan pada kayu dan bambu. Jadi, sebelum kayu/bambu tersebut digunakan dalam pembangunan rumah, kayu/bambu tersebut direndam dalam air bertanah selama minimal 3 bulan atau lebih. Melalui cara inilah, warga Baduy dapat menghindarkan rayap atau kerawanan lain yang biasa terjadi pad kayu/bambu sehingga kayu/bambu yang mereka gunakan struktur utama bangunan ini dapat lebih awet.
Foto-foto Baduy menyusul ya! Masih dalam tahap penyatuan =)
Informasi detail tentang arsitekturnya akan menyusul.
Posting ini hanya sebagai prolog tentang Baduy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar